Tiap hari kita disuguhi berita2 politik, korupsi, pemilukada,
konflik dan semua hal yang buruk yang ada di negeri “gemah ripah loh jinawi”
ini. Kadang ada rasa penasaran kadang juga ada rasa bosan untuk mendengarkan
ataupun melihat. Apalagi tahun depan mau di adakan hajatan termewah negeri ini,
“PEMILU” atau “PESTA DEMOKRASI”. Kenapa termewah? Karena pemilu membutuhkan
biaya yang sangat mahal, ini yang dikatakan menkeu kita “Jakarta (ANTARA News 15-3-2013) - Menteri Keuangan
(Menkeu) Agus Martowardojo mengatakan pemerintah menyiapkan anggaran senilai
Rp16 triliun sebagai biaya untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.
"Buat pemilu kurang lebih Rp16 triliun," ujarnya di Jakarta, Jumat.
Menurut Agus, biaya khusus yang akan tercantum
dalam APBN 2014 tersebut akan dipergunakan sebagai anggaran pelaksanaan dalam
upaya menciptakan pemilihan umum yang sehat, terencana, dan demokratis serta
menjaga stabillitas nasional.” Semoga harapanya terkabul. Kira2 16T itu
kalau di buat sekolah dari sd-sma bisa buat berapa juta anak ya???
Ngomongin masalah demokrasi,
kita harus tau dlu apa demokrasi, gimna sejarahnya, dan bagaimana pandangan
demokrasi menurut yg berpandangan berbedaa dengan penganut demokrasi, kepo
dikit ga pa2, asal jangan mainstream, heuheuheu.
Di Negara kita ini semua
menggunakan pemilihan langsung, mulai milih ketua RT, RW, kepala desa, Bupati,
gubernur, sampai presiden. Kalau buat mahasiswa, milih ketua ketua mahasiswa
jurusan, ketua BEM aja sering sampai berantem, kalau pilihan dekan atau rektor
jangan sampai ya?? Tak elok dilihat kalau kata orang sumatra, hehe
Nih coba lihat dari kaca mata
islam, kan kebetulan lebih dari 50% orang indonesia itu muslim, katanya
rahmatan lil alamin, bisa ga islam kasih solusi. (emang masalahnya dimana??).
yang pertama adalah pengertian demokrasi dulu,
Pengertian
demokrasi
Demokrasi yang umum
kita dengar adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat yang diutarakan
oleh Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln. Selain itu, masih ada
banyak lagi pengertia demokrasi yang ada. Kata demokrasi sendiri berasal dari
gabungan kata demos dan cratein yang diambil dari bahasa Yunani karena
demokrasi sudah dimengerti oleh manusia sejak zaman Yunani Kuno masih
berlangsung. Kata Demosdisini
memiliki arti rakyat, sedangkan Cratein berarti kekuasaan atau juga
pemerintahan.
Melihat dari
penjabaran di atas, maka kita bisa menarik kesimpulan pengertian demokrasiadalah
pemerintahan yang memposisikan rakyat sebagai pemegang peranan penting untuk
memutuskan segala hal. Hal ini juga sudah didukung dengan pernyataan yang
tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimana demokrasi berarti
bentuk ataupun sistem pemerintahan dimana seluruh rakyatnya turut memerintah
dengan melalui perantara wakil rakyat. Segala gagasan ataupun pandangan yang
menomorsatukan persamaan hak serta kewajiban adalah prioritas penting dari
demokrasi itu sendiri.
Sejarah Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa
Yunani (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari kata (dêmos)
“rakyat” dan (Kratos) “kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang muncul pada
pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena,
menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Sebelum istilah demokrasi ditemukan
oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak
4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara
kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali
berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil
berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena
di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari
demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 negara kota (poleis) yang
kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang
berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi.
Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan
yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut
pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan
konstitus yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena
namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai
seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam
demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap
orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih
kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang
dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.
Menurut syaikh abdul qadim zallum, dalam kitabnya demokrasi sistem kufur,
demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal barat selepas
abad pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir
pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. demokrasi lahir sebagai
anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat barat. karena
itu, demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber
dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. orang
beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi
aturan main dalam berdemokrasi. secara implisit, beliau mencoba mengingatkan
mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan
situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.
Demokrasi Menurut Islam
Dalam
demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak
legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh
lembaga perwakilannya, seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada
di tangan syara’, bukan di tangan rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan
sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun seluruh rakyat sepakat
membolehkannya.
Disisi lain,
kalau diyakini bahwa hukum kesepakatan manusia adalah lebih baik daripada hukum
Allah, maka hal ini bisa menjatuhkan kepada kekufuran dan kemusyrikan. Ketika
Rasulullah saw membacakan: Mereka menjadikan orang-orang
alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. At
Taubah : 31)
Ady bin Hatimr.a berkata: Wahai Rasulullah mereka (org nashrany) tidaklah menyembah mereka
(rahib).
Maka Rasul menjawab:
Benar, akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya)
menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah maka mereka (org nashrany)
menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah maka mereka
(nashrany) mengharamkannya pula, itulah penyembahan mereka (nashrany) kepada
mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi, juga diriwayatkan oleh at
Tirmidzi dengan sanad Hasan]
Berkenaan
dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa manusia untuk masuk
agama tertentu. Namun demikian Islam mengharamkan seorang muslim untuk
meninggalkan aqidah Islam. Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang mengganti agamanya
(murtad dari Islam) maka bunuhlah dia”.(HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan).
Adapun
kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang haruslah
terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang tidak
boleh melakukan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali
perbuatan atau pendapat tersebut dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang
membolehkan hal tersebut. Islam mengharuskan kaum muslimin untuk menyatakan
kebenaran dimana saja dan kapan saja. Rasulullah saw bersabda :“…Dan kami(hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana
kami berada, kami tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam
melaksanakan ketentuan Allah”. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).
Berkaitan
dengan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak milik umum,
seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll, juga melarang cara
mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’ seperti riba,
judi, menjual barang haram, menjual kehormatan, dll.
Adapun
kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan, homoseksual-lesbianisme,
perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan sistem sanksi yang sangat
keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal
tersebut, apalagi kalau didukung suara mayoritas. sehingga tidak aneh kalau
dalam sistem demokrasi, homoseksual yang jelas diharamkan Islampun tetap
dibolehkan asalkan pelakunya sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan
suka-sama suka.
Begitu juga perzinaan asal dilakukan orang dewasa yang suka-sama suka dan tidak
terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan.
Demokrasi = Syuro (Musyawarah)?
Sebagian
kalangan menyatakan bahwa Demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam, yakni
sama dengan syuro (musyawarah), amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi
penguasa. Hal ini tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf
nahyi munkar dan mengoreksi penguasa merupakan hukum syara’ yang telah Allah
swt tetapkan cara dan standarnya, yang jauh berbeda dengan demokrasi.
Demokrasi
memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang
dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :
(1) Untuk masalah yang berkaitan
dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan
mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah, dimana
Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat,
dan ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan: “Aku ini utusan Allah, dan aku
takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah penolongku.” (HR
Bukhari)
(2) Untuk masalah yang menyangkut
keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara
mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
(3) Sedang untuk masalah teknis yang
langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya
adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.
Demokrasi
sejatinya sistem yang cacat sejak kelahirannya. Bahkan sistem ini juga
dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut
demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob. Ia
menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai
pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme.
Plato
(472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus
biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Plato dalam
bukunya, The Republic, mengatakan, “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of
speech, and men in it may do what they like”. (…mereka adalah
orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan
berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh melakukan apa yang disukainya).
Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas.
Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri
sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah bencana disebabkan
berbagai tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban
atau kekacauan (anarchy), tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).
Menurut
Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan
betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena
demokrasi terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga
membawa bencana bagi negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.
Kala itu,
banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa hormat
terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena
itu, pada perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali
terjadi. Hak-hak rakyat tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak
mampu memberikan keamanan bagi rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis
Benjamin Constan (1767-1830) berkata: ”Demokrasi membawa kita menuju
jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
Demokrasi Ketuhanan
Karena
menganggap demokrasi sebagai konsep yang bagus walaupun ada kekurangannya,
sebagian kalangan ada yang berupaya mengambil ide demokrasi namun membuang apa
yang menurut mereka jelek. Sehingga mereka katakan, “kita memakai demokrasi namun yang berdaulat tetaplah syara’” yakni
mereka bermaksud berdemokrasi namun hukum syara’ tidak akan ditolak. Ungkapan
seperti ini sebenarnya hanyalah permainan kata-kata dan definisi saja, seperti
orang mau memesan sate ayam namun mereka syaratkan sate ayamnya tidak
menggunakan daging ayam. Dan terhadap hal seperti ini hendaknya kita
berhati-hati menjaga lidah. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah:
“Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.
(QS Al Baqarah 104) “Raa `ina” berarti “sudilah kiranya kamu memperhatikan kami”. Di kala
para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai
pula kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut ”Raa `ina”, padahal yang mereka katakan ialah”Ru`uunah” yang berarti kebodohan yang sangat,
sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya
sahabat-sahabat menukar perkataan ”Raa `ina” dengan ”Unzhurna’‘ yang juga sama artinya dengan ”Raa `ina”.
So, silahkan
maksimalkan kebijaksanaan agan2 semua dalam berdemokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar